Demokrasi boleh jadi sebuah obsesi yang mesti diawali dengan malapetaka besar. Setidaknya itu untuk pengalaman Indonesia. Dalam percakapan ini Petruk, Gareng dan Semar tak habis-habisnya berpikir mengapalah model ini menjadi pilihan. Martabat hilang, yang datang cuma Si Bolis Na Burju dalam jubah kebesaran Jahatokrasi.
Besok Gareng akan pergi ke Malaysia, dan sampai sore ini ia sudah berhasil mengumpulkan utangan sebanyak 5 juta rupiah buat perongkosan dan biaya-biaya selama beberapa hari di Malaysia. Tujuannya ke Johor Baru. Anaknya yang bungsu, Tino Munajat, meminta kehadirannya karena sedang mengalami kesulitan. Konsulat Jenderal Malaysia yang menyampaikan kabar itu.
Saya pergi karena terpaksa. Tak ada keinginan untuk melancong. Ini suatu duka. Hal yang paling disesalkan oleh Gareng ialah tiadanya tanggung jawab perusahaan pengerah tenaga kerja dan kedutaan besar Indonesia di Malaysia. Sudahlah, kang kata Semar. Banyak sabar. Kita ini mesti eling (ingat tuhan). Semua sesuai kehendak Gusti Allloh. Kami berdua berharap tidak terjadi hal-hal buruk kepada anak kita Tino Munajat. Ia kan cuma sekedar ditahan Polis Diraja Malaysia karena tuduhan bekerja tanpa izin pemerintah kerajaan.
Dengan kata-kata takziah itu Gareng malah tampak lebih tegar dan berinisiatif memulai pembicaraan. Saat akan memulai, tiba-tiba seseorang menghidupkan tv dan terdengarlah suara lanjutan diskusi yang tadi gagal mereka ikuti karena listrik mati. Saat itu juga Gareng mengajak teman-temannya dekat-dekat dengan tv dan inilah ucapan seorang mahasiswa yang mengajukan pertanyaan kepada nara sumber:
”Sikap suatu pemerintah terlihat dari kebijakannya untuk mencapai kepentingan nasional negaranya, tak terkecuali dalam perekonomian. Jika tak salah, saya mencatat bahwa pemerintah Indonesia pernah menerapkan kebijakan deregulasi yang pada dasarnya menyangkut 3 aspek. Salah satu di antaranya ialah bahwa untuk menyehatkan persaingan pasar perlu dibuka kesempatan bagi pendatang baru. Kedua, mengurangi campur tangan pemerintah dalam hal pengelolaan badan usaha dan pengambilan keputusan produksi maupun harga. Ketiga, pemerintah telah mulai merombak status BUMN menjadi persero dan mengalihkan saham dari perusahaan negara pada sektor swasta. Dengan kebijakan ini saya melihat pemerintahan kita telah benar-benar mengadopsi sietem dan kebijakan ekonomi liberal meskipun tidak diimbangi stabilitas industri dalam negeri. Apa kita tidak salah arah? Pengorbanan apa lagi yang harus kita lakukan?”
Pertanyaan mendasar hari ini ialah apakah sudah terbukti ekonomi liberal mendukung demokrasi? Prof. Boediono yang saat pengukuhan guru besarnya menyampaikan pidato ilmiahnya berjudul Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Menurutnya pada tahap awal faktor ekonomi sangat menentukan pelaksanaan demokrasi. Kemungkinan kegagalan demokrasi sangat tinggi pada tingkat penghasilan per kapita rendah dan secara progresif akan menurun dengan kenaikan penghasilan. Budiono berkata:
“Apabila kita hitung, tahun 2006 penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4.000 dolar AS, sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6.600 dolar AS. Kita belum dua pertiga jalan menuju batas aman bagi demokrasi” ucapnya.
Memang sejumlah studi empiris tiba pada sebuah kesimpulan bahwa demokrasi bukan penentu utama prestasi ekonomi. Bukankah bagi negara-negara berpenghasilan rendah seperti ndonesia, penegakan hukum lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi? Atau demokrasi apa yang kita anut dan fahami sehingga dengannya kita terus menerus semakin terpuruk?
Gareng besok akan berangkat. Semar berjanji akan mengantarkan dengan betornya yang sudah menunggak setoran 3 bulan. Petruk mengeluarkan isi kantong dan menyodorkan 3 helai tukaran recehan 20 ribu kepada Gareng.
Petruk, Gareng dan Semar telah memberikan energinya untuk Indonesia. Saling menyadarkan sesama bahwa negara mereka negara lumpuh, meski bukan tanpa harapan. Pemerintahan mereka belum mampu. Hukum mereka tak bernyali. Tetapi mereka tetap Indonesia. Seoal demokrasi mereka tak mungkin tak ikut berbicara, karena dalam diam dan duduk mereka pun tak terlepas dari ”racun” demokrasi yang dahsyat itu.
Lusa Semar akan berangkat ke Hargobinangun, Sleman, Yogyakarta. Saudaranya satu-satunya hingga kini belum ada kabar apakah selamat dari wedhus gembel dari Merapi dahsyat itu. Cipto nama saudara tunggalnya itu. Malam ini diskusi berakhir dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Hidup Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar