Waspadalah dari sifat tercela, karena sekecil apa pun pasti akan membawa akibat buruk terhadap urusan dunia dan akhirat. Dan segeralah membersihkan diri darinya, karena semua penyesalan pasti tiada guna.
Ada satu sifat tercela yang banyak menjangkiti para pemimpin dan orang-orang yang Allah Azza wa Jalla amanatkan kepemimpinannya diatas pundak mereka. Itulah perasaan takjub atau bangga diri terhadap kekuatan dan kebesaran namanya. Bangga diri adalah salah satu tipu daya setan. Para pembaca rahimahumullah, marilah kita simak kisah seorang nabi yang takjub kepada kepemimpinannya dan akibat yang harus dialami oleh diri dan kaumnya. Wallahul Muwaffiq.
Alkisah
Sahabat Shuhaib (Ar-Rumi) radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sebuah hadist dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, dia mengatakan : “Setiap usai sholat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membaca sesuatu dengan suara pelan yang aku (Shuhaib radhiyallahu ‘anhu) tidak memahami apa yang beliau baca dan beliau juga (sebelumnya) tidak mengabarkan kepada kami tentang hal itu. Lalu beliau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan : “Apakah kalian ingin tahu apa yang aku baca?” Para Sahabat menjawab : “Iya.” Beliau melanjutkan :
“Sesungguhnya aku teringat kisah seorang nabi dari nabi-nabi terdahulu yang memiliki pasukan perang yang sangat banyak [1]. Lalu sang Nabi tersebut mengatakan : “Siapakah yang dpat menandingi mereka?” atau “Siapakah yang bias mengalahkan mereka?” atau perkataan (lain) yang sejenisnya.”
Lalu Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepadanya : “Pilihlah untuk kaummu salah satu diantara tiga pilihan berikut : akan dikuasakan atas mereka musuh-musuh mereka, atau merka akan ditimpa kelaparan, atau mereka ditimpa kematian.” Lalu ia bermusyawarah dengan kaumnya untuk menentukan pilihan tersebut, maka kaumnya mengatakan : “Engkau adalah Nabi Allah Azza wa Jalla maka segala keputusan adalah ditanganmu, pilihkan saja untuk kami (yang terbaik). Ia pun beranjak melakukan sholat, dan mereka (para nabi) apabila sedang ditimpa kegelisahan akan bersegera melakukan sholat. Lalu ia pun sholat dengan bentuk shlat yang Allah Azza wa Jalla perintahkan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melanjutkan :
Lalu dia (Sang Nabi) berkata : “Wahai Rabbku, janganlah Engkau kuasakan musuh-musuh kami atas kami, jangan pula Engkau timpakan kelaparan (atas kaumku), tetapi berilah saja kematian.” Maka kemudian mereka pun ditimpa kematian, sehingga (dalam sehari) meninggallah dai kaumnya tersebut tujuh puluh ribu orang.
(Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melanjutkan) : Maka bacaan lirihku yang kalian lihat adalah karena aku membaca :
“Ya Allah, dengan-Mu aku berperang, dan dengan-Mu pula aku menyerbu, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) Allah.”
Kisah diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya: 6/16. Syaikh al-Albani berkata (Silsilah Ahadist ash-Shohihah 5/588): “sanadnya shohih sesuai dengan syarat Syaikhoini.”
Ibroh
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam mengkisahkan bahwa ada nabi Allah yang diberi nikmat berupa pengikut yang banyak. Karena melihat seolah-olah kekuatan mereka tidak terkalahkan oleh musuh, timbullah rasa bangga dalam hatinya. Ia menyangka bahwa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan kekuatannya. Namun, tidaklah demikian seharusnya sikap seorang nabi.
Sesungguhnya bangga terhadap diri sendiri, harta, dan anak keturunan adalah penyakit yang sangat jelek karena seorang mukmin yang sesungguhnya tidak akan terpedaya dengan banyaknya jumlah pasukan tatkala menghadapi musuh dan tidak menyiutkan nyalinya tatkala minimnya persiapan dan personil mereka karena kemenangan dating dari pemberian Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allh yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS.Ali Imron [3] : 126)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“…Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS.al-Baqoroh [2] : 249)
Dan bahkan pada sebagian keadaan, kebanggaan dengan jumlah yang besar adalah satu sebab kekalahan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“….Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS.at-Taubah [9] : 25)
Sang Nabi dalah kisah diatas dihukum akibat berbuat kesalahannya. Allah Azza wa Jalla menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari tiga pilihan terkait dengan kaumnya yaitu memilih bahwa akan ada suatu kaum lain yang bias mengalahkan mereka, atau mereka akan ditimpa paceklik panjang, atau memilih ditimpakan kematian atas kaumnya.
Sungguh tiga pilihan yang sama-sama berat, karena semuanya akan dapat menyebabkan kelemahan dan hilangnya kekuatan mereka dan juga akan menghilangkan rasa bangga. Seandainya ada kaum lain yang dapat mengalahkan mereka maka kaum tersebut akan menghinakan mereka.
Apabila mereka ditimpa kelaparan maka beratnya rasa lapar akan menghilangkan kekuatan mereka sehngga musuh akan sangat mudah menghancurkan dan mengalahkan mereka. Demikian juga, apabila mereka ditimpakan kematian, hal itu pun akan mengurangi jumlah dan kekuatan pasukan mereka. Maka memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut bukan masalah ringan karena berkonsekuensi pada kelemahan mereka. Pertimbangan yang ekstra hati-hati sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, Sang Nabi memanggil kaumnya dan bermusyawarah menentukan pilihan terbaik untuk mereka. Namun, kaumnya tersebut justru menyerahkan segala urusan kepadanya. Mereka mengatakan : “Engkau adalah seorang Nabi, maka segala putusan ada di tanganmu.”
Para Nabi dan Rasul adalah orang yang diberi petunjuk dan berkata benar. Nabi tersebut memilih untuk mereka sebuah pilihan yang paling tepat dan terbaik karena ia memilih pilihan ketiga yaitu ditimpakan kematian atas kaumnya. Ia tidak memilih untuk ditimpakan atas mereka kelaparan atau dikalahkan oleh musuh. Alasannya, kalaupun tidak mati hari ini mereka pun pasti akan mati pada hari-hari yang lain karena kematian adalah sebuah kepastian yang siapapun tidak akan bias mengelak dimana pun dia berada dan kapan pun juga. Orang-orang yang lebih dahulu diwafatkan akan berarap bahwa segala amal perbuatan mereka dapat diterima di sisi-Nya sedang orang-orang yang masih tinggal setelahnya akan menjadikannya sebagai sebuah nasihat dan peringatan baginya. Demikian pula, bias jadi Allah Azza wa Jalla akan menambah lagi jumlah mereka yang sekarang tinggal sedikit karena segala perkara berada di tangan Allah Azza wa Jalla.
Sang Nabi segera sujud kepada Allah Azza wa Jalla, bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla untuk dipilihkan pilihan terbaik untuknya. Demikianlah kebiasaan para Nabi dan orang-orang yang sholih. Tatkala ditimpa kegundahan mereka bersegera menegakkan sholat. Sang Nabi sholat dengan bentuk sholat yang Allah kehendaki. Maka Allah memilihkan baginya pilihan yang paling ringan.
Dia berkata kepada Robbnya: “Wahai Robbku, janganlah Engkau kuasakan musuh-musuh kami atas kami, jangan pula Engkau timpakan kelaparan (atas kaumku), tetapi berilah kami kematian.”
Maka tibalah saatnya musibah kematian dating kepada mereka sehingga meninggallah dari kaumnya tersebut dalam sehari sebanyak 70.000 orang.
Sungguh akibar buruk dari perasaan bangga Sang Nabi sungguh menakutkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun sangat khawatir akan terjadi pada kaumnya semisal apa yang telah terjadi pada kaum nabi tersebut.sebabitu, selesai sholat dan seusai mengisahkan kisah nabi tersebut kepada para sahabatnya, beliau mengucapkan – dengan suara lirih – do’a diatas.
Beliau berlepas diri dari segala perasaan bangga serta menyerahkan segala daya dan kekuatan hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Beliau berlepas diri dari sekadar bersandar pada kekuatan para sahabat. Tatkala menghadang musuh beliau hanya bersandar kepada Allah Azza wa Jalla semata karena dari-Nya-lah saja pertolongan dan dari-Nya-lah pula kemenangan. Sesungguhnya tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya milik Allah Azza wa Jalla. Wallahul Muwaffiq.
Mutiara Kisah
Mutiara Kisah
Ada banyak mutiara indah tertabur dalam kisah diatas. Akankah mutiara-mutiara itu dilalaikan begitu saja?! Tentulah tidak. Beberapa mutiara tersebut antara lain :
1. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memahamkan kepada para sahabatnya sebab kelemahan dan kehancuran yang akan menimpa mereka. Diantaranya sebab-sebab itu adalah perasaan bangga dengan kekuatan mereka.
2. Perasaan bangga adalah perkara yang sangat membahayakan. Karena kebanggaan akan menghilangkan tawakal kepada Allah Azza wa Jalla dan bersandar kepada-Nya. Justru sebaliknya, ia akan bersandar pada sebab-sebab duniawi saja.
3. Para pemimpin Negara, panglima perang dan siapa saja yang diamanati kepemimpinan hendaknya senantiasa waspada bahwa Allah Azza wa Jalla akan menurunkan atas mereka seperti apa yang telah diturunkan kepada kaumnya Sang Nabi dalam kisah diatas. Kita pun sering mendengar bahkan menyaksikan sendiri pada zaman kita sekarang ini perasaan bangga meliputi kebanyakan para pemimpin Negara, para panglima perang, dan pemilik kekuasaan dan jabatan. Akankah musibah tersebut terulang kembali?!
4.Terkadang, sebab-sebab ditimpakannya musiabah itu disamarkan bagi kebanyakan manusia kecuali orang-orang Allah Azza wa Jalla berikan kefaqihannya (kepahaman) dalam urusan agamanya. Bahkan tak jarang musibah dating kepada orang-orang sholih yang sedang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla. Namun mereka tidak mengetahui sebab diturunkannya musibah tersebut.
5. Umat yang sholih dalam jumlah besar telah ada di zaman sebelum kita. Mereka berjihad fi sabilillah membela agama Allah Azza wa Jalla. Orang-orang yang Allah Azza wa Jalla wafatkan dari umat tersebut mencapai 70.000 personilyang meninggal dalam waktu yang sangat pendek.
6. Disenanginya seorang muslim apalagi di timpa perkara besar untuk melakukan sholat bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla member petunjuk dan jalan keluar yang paling tepat dari masalah yang sedang ia hadapi. Demikian pula diajarkan syari’at kita bagi seorang yang tengah dalam kebimbangan dan kesulitan menentukan pilihan terbaik untuknya, hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at lalu berdo’a dengan do’a istikharah yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, silahkan merujuk ke hadist riwayat al-Bukhori: 4/450.
7.Tidak boleh terburu-buru dalam menetukan pilihan, lebih-lebih apabila yang dihadapi adalah pilihan yang berat yang butuh kehati-hatian. Hendaklah ia memusyawarahkan terlebih dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh nabi tersebut dengan kaumnya. Hendaklah ia mempertimbangkan dengan sangat hati-hati. Dan hendaklah ia berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan taufik kepadanya untuk dapat menentukan pilihan yang paling benar. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar